Sapi Madura merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berpotensi dikembangkan untuk menekan nilai impor daging dan olahannya. Sebab sapi ini mudah beradaptasi dengan cuaca panas dan tahan terhadap penyakit. Dari segi kualitas dagingnya berwarna merah cerah, tekstur empuk berserat halus, dan rendah lemak.
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) ahli produksi ternak, Dr. Irida Novianti berpendapat bahwa strategi pengembangan dapat dilakukan melalui penanganan induk sapi sebagai populasi dasar penentu produksi dan pengembangan teknologi budidaya dengan melakukan penilaian kondisi tubuh ternak untuk memeriksa cadangan lemak tubuh.
“Penilaian ini disebut Body Condition Score (BCS) yang sangat berpengaruh terhadap produksi dan reproduksi induk sapi potong.” ungkap Irida
Akan tetapi pada umumnya pengetahuan peternak tentang BCS sangat rendah namun tidak ada usaha memperbaiki kondisi tersebut. Padahal penilaian BCS cukup efektif digunakan untuk mengukur energi metabolik yang disimpan sebagai lemak dibawa kulit dan otot pada ternak. Dengan melihat BCS maka dapat diketahui baik atau buruk budidaya pemeliharaan induk oleh peternak. BCS pada saat melahirkan harus optimal untuk memaksimalkan reproduksi. Setelah melahirkan harus mendapat asupan nutrisi yang tinggi untuk laktasi dan mempersiapkan untuk perkawinan selanjutnya. BCS dibawah standar optimum akan berpengaruh terhadap fungsional reproduksi.
“Salah satu kelompok ternak yang belum memanfaatkan peran BCS adalah peternakan rakyat di Kabupaten Pamekasan di Desa Tampojung, Kecamatan Waru. Disana mereka masih melakukan cara tradisional.” terang Irida
Akibatnya kerap menimbulkan berbagai permasalahan, seperti serangan penyakit, ketersediaan pakan, sempitnya lahan pemeliharaan, dan kurangnya sarana produksi ternak (sapronak) yang akhirnya berujung pada rendahnya produktivitas ternak dan harga temak.
Disamping itu sebagian besar peternak tidak memiliki lahan untuk menanam hijauan pakan ternak, dan hanya mengandalkan rumput lapang dan limbah pertanian sebagai pakan. Dampaknya BCS induk sapi rendah dan penurunan daya reproduksi.
Berdasar permasalahan itu Irida bersama tim berinisiatif membuat penyuluhan dan pelatihan pemberdayaan peternak dengan menerapkan teknologi budidaya. Tim terdiri dari Prof. Kuswati, Wike Andre Septian, M.Si., Rizki Prafitri, Ph.D. serta melibatkan mahasiswa yaitu Amadeus Gilang Dharma Andhika dan Muhammad Fajar Dewangkara. Kegiatan yang dilakukan Mei- Agustus 2023 itu meliputi sosialisasi kegiatan, survei pendahuluan, penyuluhan, pendampingan dan evaluasi.
“Solusi yang ditawarkan dipilih bentuk kegiatan pelatihan singkat. Penyampaian secara oral terbatas tidak ditekankan, tetapi lebih ditekankan pada praktek kegiatan langsung.” pungkasnya (dta)