Permintaan pasar lokal akan daging ayam kampung selalu naik tiap tahunnya. Meski harga jualnya lebih mahal dibandingkan ayam potong pedaging atau broiler. Sebab daging ayam kampung lebih sehat dan rendah lemak.
Budidaya ayam kampung berpeluang membuka bisnis yang menjajikan baik di Pulau Jawa sebagai pulau yang dihuni 60% masyarakat Inonesia, maupun di Indonesia bagian Timur Sebab dari segi harga karkas ayam kampung relatif stabil dibandingkan ayam potong pedaging atau broiler yang kerap kali anjlok ditingkat peternak, terutama di peternak mandiri.
Sementara populasinya merata dapat ditemukan di seluruh pelosok tanah air, tidak hanya terfokus di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi layaknya ayam pedaging. Akan tetapi beternak ayam kampung mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah lebih toleran dengan pakan sederhana, mudah beradaptasi dengan lingkungan, dan memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap serangan penyakit. Sedangkan kekurangannya ialah tingkat pertumbuhan relatif lamban. Disamping itu budaya setempat juga berpengaruh terhadap sistem pemeliharaan yang diaplikasikan dan diterapkan masyarakat.
Kondisi itu menjadi tantangan bagi pelaku usaha budidaya ayam kampung. Sebagai langkah mencari solusi, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) mengadakan seminar online tentang bisnis ayam kampung di Indonesia Timur, Jumat (14/08/2020).
Narasumber terdiri dari Dr.Ir. Siska Tirajoh, MS (Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua), Dr.Ir. Jein Rinny Leke, MP.,IPU (Dosen Fakultas Peternakan Universitas Samratulangi Manado), Eufrasia R.A. Lengur, S.Si.,M.Si (Dosen Universitas Katolik Widya Mandira Kupang), dan Dr. Ir. Eko Widodo.,M.A.gr.Sc.,M.Sc (Dosen Fapet UB).
Dr. Siska memaparkan permasalahan yang dihadapi peternak di Jayapura, antara lain produktivitas rendah yang ditunjukkan dengan rendahnya populasi dan produksi telur dan daging, namun angka mortalitas tinggi. Di samping itu minimnya bibit unggul karena belum tersedia sistem pembibitan yang memadai. Serta kekurangan pakan yang berkualitas akibat belum ada industri pakan komersil.
Sementara itu sistem pemeliharaan ayam kampung di Sulawesi menurut Dr. Jein, masih bersifat tradisional dengan membiarkan ayam mencari ransum dan mengerami terlur serta mengasuh anak. Mengakibatkan produktivitas rendah, dalam satu tahun hanya sekira 2-3 kali produksi dengan jumlah telur 30 hingga 60 butir. Namun penjualan ayam kampung di Manado tetap eksis meski di tengah pandemi.
“Penerapan inovasi teknologi dari akademisi perlu diimplementasikan kepada peternak ayam mandiri dalam bentuk bimtek dan penyuluhan. Selain itu dibutuhkan dukungan dan sinergitas program di instansi teknis dengan pengusaha sebagai mitra.” Ungkap Siska (dta)