Usaha peternakan itik di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan seiring meningkatnya pula kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein hewani. Akan tetapi ketersediaan dan harga bahan pakan menjadi kendala yang sering mengguncang stabilitas usaha peternakan.
Ketersediaan dedak padi sebagai pakan utama itik harus bersaing dengan kebutuhan peternak ayam pedaging, ayam petelur dan babi. Selain itu keberadaannya pun musiman yang menyebabkan kenaikan harga dan langka. Bahkan kadang terjadi pemalsuan oleh pedagang yang mencampur dedak halus dengan dedak kasar (sekam). Sehingga diperlukan inovasi pakan pengganti dedak halus.
Menyikapi hal tersebut Ir. Nontje Juliana Kumajas, MP. menemukan solusi dengan memanfaatkan enceng gondok dan jamur yang ia tuangkan dalam penelitian berjudul “Evaluasi Nilai Nutrien Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Fermentasi dengan Phanerochaeta chrysosporium dan Trichoderma reesei sebagai Bahan Pakan Pengganti Dedak Halus Terhadap Penampilan Produksi Itik Pedaging.”
Riset yang disusun bersama komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS., IPU. ASEAN Eng, Dr. Ir. Osfar Sjofjan, MSc., IPU. ASEAN Eng, Prof. Dr. Ir. Marie Najoan, MS, itu sebagai syarat mendapatkan gelar Doktor (Dr). Sebab Nontje adalah dosen Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado yang tercatat sebagai mahasiswa Program Doktor di Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB).
Nontje mengatakan eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan gulma air yang sangat mudah kembangbiakkan dan dapat tumbuh dalam kondisi apapun. Sifat ini dapat mengganggu ekosistem air bahkan merupakan faktor penyebab terjadinya pendangkalan air di danau Tondano, Minahasa.
Namun apabila dilihat dari kandungan nutriennya, eceng gondok dapat dijadikan bahan pakan khususnya dimasa kekurangan atau kelangkaan dan dikategorikan sebagai bahan pakan sumber energi. Tetapi tingginya kandungan serat kasar sebesar 18 % – 36 % menjadi kendala dalam penggunaannya sebagai bahan pakan unggas.
Maka diperlukan upaya teknologi fermentasi dan penambahan jamur pelapuk putih dan mesofilik untuk meningkatkan nilai nutrisi dengan menggunakan kapang penghasil enzim yang dapat mendegradasi fraksi karbohidrat struktural.
Jamur pelapuk putih (phanerochaeta chrysosporium) mampu mendegradasi karbohidrat struktural menjadi molekul yang lebih sederhana. Sedangkan jamur mesofilik (trichoderma reesei) dikenal sebagai kapang selulolitik, yaitu kapang penghasil selulase yang bisa memecah selulosa menjadi glukosa.
Penelitian awal dia memfermentasi eceng gondok menggunakan kombinasi kapang Phanerochaeta chrysosporium dan Trichoderma reesei dengan tiga level dosis inokulum yaitu 2 %, 4%, dan 6% yang di inkubasi selama 0 hingga12 hari. Variabel yang diamati meliputi kandungan protein kasar, serat kasar dan komponen serat kasar (NDF, ADF, Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin).
Selanjutnya hasil terbaik dari tahapan awal digunakan untuk menguji kecernaan pakan yang mengandung eceng gondok pada 20 ekor itik umur 8 minggu. Variabel yang di amati yaitu kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar dan energi metabolis, menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan empat ulangan.
Kesimpulannya fermentasi eceng gondok dengan kombinasi phanerochaeta chrysosporium dan trichoderma reesei dapat meningkatkan kualitas nutrien eceng gondok berdasarkan kriteria peningkatan protein kasar dan energi metabolis serta penurunan komponen serat kasar yang diperoleh pada dosis inokulum 4 % dengan waktu inkubasi 8 hari .
Serta Penggunaan tepung eceng gondok fermentasi sampai 30 persen dalam pakan menunjukan peningkatan kecernaan protein kasar, serat kasar dan EM, yang dapat memperbaiki penampilan produksi itik pedaging secara kualitas dan kuantitas. (dta)