Penyamakan kulit ialah proses mengolah kulit mentah menjadi kulit tersamak (leather) yang menghasilkan sepatu, tas, dompet, ikat pinggang, gelang kulit, aksesoris handphone, dan beragam produk lainnya.
Memasuki revolusi industri 4.0, pengusaha penyamakan kulit harus mampu beradaptasi agar dapat bertahan dan bersaing. Sebab saat ini industri penyamakan kulit di Indonesia memiliki prospek sebagai produk ekspor. Kondisi itu ditandai dengan peningkatan jumlah ekspor tiap tahunnya.
Namun beberapa diantara mereka menghadapi tantangan terhadap daya saing dan kurangnya bahan baku. Karena bahan baku dari kulit dari ternak sapi dapat diolah kudapan , sehingga harus bersaing dengan industri makanan.
Permasalahan itu memicu Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) untuk mengadakan diskusi yang dikemas dalam acara seminar online. Acara yang dilaksanakan Rabu (23/09/2020) melalui ZOOM, mengundang Dr. Khothibul Umam Al Awwaly, S.Pt., M.Si (Fapet UB), Dr. Jajang Gumilar, S.Pt., MM. (Fapet Unpad), dan Dr. R.L.M. Satrio Ari Wibowo, S.Pt., M.P., IPU, ASEAN Eng. (Politeknik Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta) sebagai pemateri.
Khotibul Umam mengatakan bahwa peluang industri penyamakan kulit masih terbuka lebar sebab permintaan produk berbahan kulit sangat besar seiring perubahan gaya hidup. Serta sektor pariwisata yang berkembang memerlukan cindera mata khas daerah didukung dengan jumlah industri penyamakan kulit yang masih terbatas.
Sementara itu untuk menghadapi kurangnya bahan baku, Satrio Ari berpendapat agar berinovasi pemanfaatan limbah kulit dari hewan ternak lainnya, seperti kulit kelinci dan ikan buntal.
“Kulit kelinci jarang dimanfaatkan karena dianggap sebagai limbah, padahal memilki bulu yang indah, seragam, dan menarik.” Jelas Satrio
“Apabila dilakukan penyamakan maka akan bernilai tinggi. Keunggulan kulit kelinci tahan terhadap mikroorganisme dan perlakuan fisik kimia.” tandasnya (dta)